Oleh: Rusdianto Sudirman
Advokat Gerakan Anti Mafia Tanah (GAMAT RI)
Gelombang reklamasi kembali menghantam pesisir Indonesia. Di sejumlah daerah, pantai-pantai ditimbun untuk pembangunan jalan alternatif, pelabuhan, kawasan komersial, bahkan real estate mewah. Di atas kertas, semua demi kepentingan umum. Di lapangan, yang terjadi justru ironi, akses tanah masyarakat yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) tertutup, jalan umum yang dulunya bebas dilalui secara mendadak jadi kawasan privat, dan laut yang seharusnya menjadi ruang publik berubah menjadi ruang privat untuk bisnis.
Fenomena reklamasi ini bukan sekedar persoalan lingkungan, melainkan telah menjelma menjadi pelestarian agraria modern yang kompleks. Ketika tanah hasil reklamasi berada di antara tafsir “milik negara”, “milik investor”, dan “akses warga”, hukum kerap tertinggal jauh dari kecepatan ekskavator di lapangan.
Secara yuridis, Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai menyatakan bahwa tanah hasil reklamasi adalah tanah negara. Namun, status ini tidak serta-merta memberikan karpet merah kepada pemerintah atau investor untuk mengabaikan hak-hak masyarakat yang sudah terlebih dahulu memiliki hak atas tanah di pesisir.
Lebih lanjut, Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menegaskan adanya hak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Ketika reklamasi dilakukan dan berdampak pada pemilik SHM yang aksesnya tertutup atau terganggu, maka terjadi pelanggaran prinsip dasar agraria, bahwa tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pemmodal.
Kasus-kasus seperti di Makassar, Manado, Tanjung Benoa dan Parepare menjadi pelajaran mahal yang selama puluhan tahun tinggal di pesisir terancam punah hanya karena sebuah pulau buatan muncul di depan halaman rumah mereka. Apakah negara hadir sebagai pelindung atau justru sebagai promotor penggusuran?
Menurut penukis, bagi masyarakat pemilik SHM yang dirugikan, ada beberapa langkah hukum yang dapat dilakukan. Pertama, Mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata, warga dapat menggugat pelaksana reklamasi baik pemerintah maupun swasta jika terbukti reklamasi dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah atau mengabaikan hak warga negara. Gugatan ini bisa diserahkan ke Pengadilan Negeri Setempat.
Kedua, Jika reklamasi dilakukan atas dasar izin pemerintah (misalnya SK Gubernur atau Bupati/Walikota), maka masyarakat dapat menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan TUN. Gugatan ini bisa didasarkan pada ketidaksesuaian prosedur, pelanggaran tata ruang, atau tidak adanya analisis dampak lingkungan yang melibatkan partisipasi publik.
Ketiga, ketika jalur pemerintah belum memungkinkan atau terlalu berat secara biaya, warga dapat melapor ke lembaga pelayanan pengawas publik seperti Ombudsman RI atau Komnas HAM. Terutama jika terdapat indikasi maladministrasi atau pelanggaran hak asasi manusia seperti hak atas tempat tinggal dan mobilitas.
Keempat, dalam kasus yang merugikan banyak warga, pendekatan class action dapat diambil. Ini memberikan kekuatan kolektif yang lebih besar serta meringankan beban biaya dan pembuktian.
Kelima, Dalam beberapa kasus, meskipun tanah tetap dikuasai pemilik SHM, akses yang tertutup bisa dijadikan sebagai urusan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan jalur akses (servituut), berdasarkan prinsip keadilan dan asas pemanfaatan tanah yang berkelanjutan
Oleh karena itu pemerintah harus meninjau ulang seluruh kebijakan reklamasi, terutama yang tidak berdasarkan rencana tata ruang dan tidak melalui konsultasi publik yang bermakna. Keputusan reklamasi seharusnya tidak hanya mempertimbangkan daya tarik investasi, namun juga memperhatikan hak-hak sosial masyarakat lokal.
Perlu dibentuk mekanisme audit publik terhadap proyek reklamasi, yang melibatkan masyarakat sipil, sejarawan, dan ahli hukum. Tujuannya adalah menghindari monopoli informasi oleh pengembang dan pemerintah daerah.
Selanjutnya yang harus menjadi prioritas pemerintah yaitu melakukan revisi terhadap regulasi agraria dan kelautan yang tumpang tindih. Sebab, saat reklamasi ini kewenangannya terbagi antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pemerintah daerah sementara korban dari kebingungan ini adalah warga yang lahannya tergusur atau aksesnya tertutup.
Sehingga perlu adanya peraturan tegas soal “akses publik wajib” pada proyek reklamasi.Setiap proyek reklamasi harus menyediakan jalan umum, ruang terbuka hijau, dan akses ke laut untuk warga sekitar. Ini bukan sekadar janji manis dokumen Amdal, tetapi harus menjadi syarat sah pembangunan.
Pendekatan restoratif dan mediasi wajib difasilitasi sebelum langkah hukum formal. Banyak konflik reklamasi bermula dari miskomunikasi dan minimnya konsultasi. Negara, dalam hal ini, perlu hadir sebagai mediator yang adil. Reklamasi tidak salah. Yang keliru adalah ketika reklamasi dilakukan dengan mengorbankan hak warga negara yang sudah dilindungi konstitusi dan hukum agraria. Tanah bukan sekadar ruang fisik, tapi simbol hak, sejarah, dan identitas.
Ketika laut ditimbun dan daratan baru terbentuk, seharusnya lebih dulu negara menggali hati nurani dan akal sehat: untuk siapa tanah baru itu dibangun?
Discussion about this post