Oleh: Burhanuddin Thomme (Perantau Bugis di Jakarta)
Jika sejarah memang ditulis oleh mereka yang berkuasa, maka menulis adalah jalan sunyi yang membebaskan. Dan Colliq Pujie telah membuktikannya. Ia tak hanya melawan ketidakadilan kolonialisme dengan senjata dan suara, tapi juga dengan pena, aksara, dan ilmu pengetahuan.
Nama Colliq Pujie mungkin asing di telinga generasi muda hari ini. Namun, perempuan kelahiran abad ke-19 dari Tanete, Sulawesi Selatan ini adalah sosok luar biasa yang kiprahnya menyaingi bahkan melampaui tokoh emansipasi perempuan lain di Nusantara. Ia bukan hanya penyalin naskah La Galigo—epos Bugis terbesar di dunia—tetapi juga pemikir, penulis, pencipta aksara rahasia, dan pemimpin politik yang ditakuti Belanda.
Saya teringat delapan tahun lalu, dalam obrolan penuh harap bersama istri, kami sepakat bahwa bila anak kami lahir perempuan, namanya akan kami beri ‘Colliq Pujie’—sebuah penghormatan terhadap tokoh yang begitu kami kagumi. Tapi Tuhan menghadirkan anak laki-laki. Nama itu tak jadi diberikan, namun kami tetap menanamkan semangat yang diwariskan dari pujangga kerajaan itu lewat nama yang terinspirasi dari sastra I La Galigo.
Colliq Pujie lahir sebagai Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Ia adalah putri Raja Tanete ke-19, La Rumpang Megga. Sejak kecil, Colliq Pujie hidup dalam lingkungan kerajaan yang memberikan ruang belajar, berpikir, dan memimpin bagi kaum perempuan.
Nama “Colliq Pujie” sendiri berarti “pucuk daun yang terpuji.” Ia bukan hanya putri kerajaan, tapi juga pemimpin rakyat Pancana, penulis sejarah, dan pelopor emansipasi yang menentang penjajahan Belanda dengan cara yang tak biasa.
Setelah kematian suaminya, Colliq Pujie berdiri di garda depan perlawanan rakyat Tanete terhadap kebijakan kolonial yang menindas. Keteguhannya membuat Belanda gusar. Tahun 1857, tanpa surat keputusan resmi, ia diasingkan ke Makassar. Belanda khawatir pengaruhnya akan memantik perlawanan rakyat yang lebih besar.
Dalam pengasingan, kehidupan ekonomi Colliq Pujie amat berat. Ia menjual perhiasan untuk bertahan hidup. Hingga kemudian datang B.F. Matthes, seorang penginjil Belanda, menawarkan kerja sama: menyalin dan mengadaptasi naskah La Galigo. Kolaborasi ini berjalan 20 tahun. Hasilnya: 12 jilid tebal naskah Bugis kuno terselamatkan.
Colliq Pujie bukan sekadar penyalin. Ia menyusun, menyunting, dan menambahkan pengantar dalam setiap naskah. Ia tahu, menjaga warisan budaya adalah bentuk lain dari perjuangan.
Tak berhenti di sana. Ia menciptakan aksara bilang-bilang, semacam sandi rahasia yang terdiri dari 18 huruf—hasil modifikasi aksara Bugis dan Arab. Melalui aksara ini, ia tetap berkomunikasi dengan para pengikutnya di Tanete, Lamuru, dan Pancana, meski berada dalam pengasingan. Ini bukan hanya kecerdasan, tapi strategi gerilya yang canggih di masa itu.
Selain La Galigo, Colliq Pujie juga menulis Attoriolong Tanete (Sejarah Tanete), dan menyalin La Toa—kumpulan petuah bijak raja-raja Bugis yang hingga kini menjadi rujukan etikaj kepemimpinan.
Namanya tersimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, namun nyaris tak dikenal di sekolah-sekolah negeri sendiri. Kisahnya jarang muncul di buku pelajaran, apalagi dibahas dalam peringatan Hari Kartini.
Padahal, jika kita jujur membaca sejarah, Colliq Pujie adalah Kartini dari Tanah Bugis. Ia perempuan yang menolak tunduk pada struktur patriarki, mendidik bangsanya, menulis sejarahnya, dan menjaga identitas budayanya dari kepunahan. Ia adalah bukti bahwa emansipasi perempuan tak lahir dari barat semata, tapi tumbuh dari akar-akar lokal Nusantara.
Hari ini, ketika kita memperingati Hari Kartini, ingatan kita sering kali hanya terpusat pada satu nama. Tapi di ujung timur, di Tanete yang sunyi, pernah berdiri seorang perempuan tangguh yang memilih jalan berbeda: melawan lewat aksara, mengabadi dalam lontara, dan hidup dalam sejarah yang sempat dilupakan.
Dialah Colliq Pujie. Kartini Bugis. Perempuan yang layak dikenang bukan hanya karena ia perempuan, tetapi karena ia berani dan cerdas di tengah zaman yang menindas.
Discussion about this post