GOWA-TERASINDONEWS.COM- Dalam suasana yang penuh semangat dan harapan, Yayasan Kebudayaan Aruna Ikatuo Indonesia melaksanakan kegiatan Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan (FPK) 2025.
Acara yang digelar pada hari Jumat, 22 Agustus 2025, di Saung Kampung Rewako, Desa Jenetalalsa, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, menjadi momentum penting bagi upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan lokal.
Dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, acara ini menegaskan komitmen bersama untuk menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi.
Pembukaan kegiatan ini ditandai dengan Perayaan Hangat dari Dr. Sumarlin Rengko HR sebagai ketua yayasan, yang mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam menjaga dan memajukan budaya Indonesia. Ratnawati, SS, M.Ed., Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa, pun turut memberikan kata-kata inspiratif. Ia menyampaikan bahwa pe
budaya lestarian adalah tanggung jawab bersama yang harus diperkuat di era globalisasi ini. Ibu Ratnawati juga menekankan pentingnya karakter pendidikan sebagai fondasi dalam meneruskan nilai-nilai budaya kepada generasi muda.
“Dengan kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga budaya, kita dapat memastikan bahwa kekayaan budaya kita tetap hidup dan relevan,” tuturnya.
Resmi dibuka oleh Sinatriyo Dahuhadiningrat, SS, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, FPK 2025 bertujuan untuk mendidik karakter generasi muda sekaligus menjawab tantangan era digital yang semakin berkembang pesat
Dalam sesi yang penuh inspirasi, berperan sebagai pemateri pertama, Dr. Dafirah, M.Hum., peneliti tradisi lisan dari Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, mengungkap pentingnya revitalisasi tradisi lisan sebagai upaya menjaga nilai-nilai lokal di tengah arus global yang deras. Ia menekankan bahwa tradisi lisan bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga sarana penting untuk mentransmisikan kearifan manusia dan identitas komunitas.
“Di era digital ini, kita harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mendokumentasikan dan menyebarkan cerita-cerita yang kaya makna, sehingga generasi muda tetap terhubung dengan akar budaya mereka,” ujarnya. Dengan semangat yang penuh harapan, Dr. Dafirah mendorong semua pihak untuk berkolaborasi dalam melestarikan tradisi lisan, agar kekayaan budaya bangsa tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang dalam konteks yang relevan dan inspiratif kekinian.
Dalam nuansa yang sarat akan kehangatan dan kebanggaan, Dr. Andi Suriadi Mappangara, M.Hum., memaparkan materi mengenai “Budaya Lisan dan Sejarah Sulawesi Selatan,” yang menggugah kesadaran akan betapa kaya dan beragamnya warisan budaya daerah ini.
Ia melukiskan bahwa budaya lisan bukan sekedar cerita, tetapi juga jendela yang membuka pandangan kita terhadap sejarah dan nilai-nilai yang membentuk identitas masyarakat Sulawesi Selatan.
“Setiap kisah yang dituturkan adalah jejak sejarah yang menuntun kita untuk memahami perjalanan panjang nenek moyang kita,” ungkapnya dengan penuh semangat. Dalam setiap bait dan frasa, Dr. Andi mengajak pendengar untuk menghargai dan melestarikan tradisi lisan sebagai warisan berharga yang menghubungkan generasi masa lalu dengan masa depan, sehingga kekayaan budaya ini tidak hanya dikenang, tetapi juga dihidupkan dan dikritisi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sesi yang penuh inovasi, Labbiri, S.Pd., M.Pd., memperkenalkan “Model Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah Berbasis Digital,” yang mengajak kita memasuki era baru dalam menjaga kekayaan bahasa dan sastra lokal. Dengan semangat yang berapi-api, dalam paparannya, Ketua Perhimpunan Pendidik Bahasa Indonesia Daerah (PPBDI) Gowa ini menjelaskan bahwa teknologi dapat menjadi penghubung antara tradisi dan modernitas, memungkinkan semua lapisan untuk mengakses, memahami, dan mencintai warisan budaya mereka melalui platform digital. “Melalui aplikasi dan media sosial, kita dapat menghadirkan bahasa dan sastra daerah dengan cara yang menarik dan interaktif,” ujarnya.
Labbiri menegaskan bahwa pelestarian ini bukan hanya tanggung jawab akademis, tetapi juga panggilan bagi setiap individu untuk berkontribusi dalam menjaga suara dan cerita yang mewarnai identitas kita, menjadikan bahasa daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang penuh makna.
Ia juga mengajak peserta workshop untuk mempraktekkan berbagai bentuk sastra lisan, seperti Pakkiok Bunting dan Aru, sehingga mereka dapat merasakan langsung kekayaan dan keindahan tradisi lisan yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Eka Yuniarsih, SS, selaku peserta sekaligus ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Makassar Kota Makassar, memberikan tanggapan positif terkait workshop hari pertama. Ia menyatakan,
“Acara ini sangat penting bagi kami sebagai pendidik, karena tidak hanya memberikan wawasan baru tentang pelestarian bahasa dan sastra daerah, tetapi juga memperkuat semangat kolaborasi di antara para guru, penggiat budaya, pencipta konten, dosen, penggiat seni tradisi.”
Ibu Eka menambahkan bahwa pemaparan dari para narasumber sangat inspiratif, terutama mengenai penggunaan teknologi dalam menghidupkan kembali tradisi lisan.
“Kami merasa termotivasi untuk menerapkan berbagai metode yang dipelajari, seperti mempraktekkan sastra lisan dalam pembelajaran di kelas, agar siswa lebih terhubung dengan budaya lokal mereka,” ujarnya dengan nada semangat.
Discussion about this post