PAREPARE, Terasindonews.com —
Proses perundingan bipartit antara dua karyawan PDAM Tirta Karajae Kota Parepare dengan jajaran direksi resmi dinyatakan gagal. Persoalan muncul setelah pihak manajemen bersikeras menolak membayarkan pesangon kepada dua karyawan senior, Umar dengan masa kerja 32 tahun dan Syamsuddin yang telah mengabdi 25 tahun.
Penolakan itu disebut berdasar pada Permendagri Nomor 23 Tahun 2024, yang menurut Direksi PDAM tak lagi memungkinkan BUMD membayarkan pesangon kepada pegawai yang telah menerima manfaat pensiun.
Namun pandangan tersebut langsung dibantah keras oleh LBH GP Ansor Parepare, selaku kuasa hukum kedua karyawan. Ketua LBH Ansor, Rusdianto Sudirman, menilai kebijakan PDAM tersebut bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga inkonsisten dan diskriminatif.
> “Direksi PDAM menggunakan Permendagri 23/2024 untuk menolak pesangon, tapi dua karyawan lain yang pensiun setelah aturan itu terbit justru tetap menerima pesangon penuh. Ini jelas tidak konsisten dan berpotensi diskriminatif,” tegas Rusdianto, Senin (3/11/2025).
LBH Ansor bahkan menemukan fakta baru yang memperlihatkan penggunaan ganda regulasi di tubuh PDAM Tirta Karajae. Saat bicara hak direksi, PDAM masih memakai Keputusan Wali Kota Parepare Nomor 679 Tahun 2022 tentang penetapan penghasilan direksi. Namun, untuk menolak hak pesangon karyawan, mereka menggunakan Permendagri terbaru.
“Kalau bicara hak direksi, pakai aturan lama. Tapi kalau hak karyawan, pakai aturan baru. Ini jelas standar ganda. Regulasi dipilih berdasarkan kepentingan, bukan kepastian hukum,” sindir Rusdianto.
Lebih lanjut, LBH GP Ansor Parepare menegaskan bahwa Permendagri 23 Tahun 2024 tidak meniadakan hak pesangon, melainkan hanya mengatur mekanisme perhitungannya jika terdapat program pensiun tambahan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 ayat (7) yang menyebut:
“Apabila manfaat program pensiun tambahan lebih kecil daripada uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah, maka selisihnya wajib dibayar oleh BUMD air minum.”
Menurut LBH Ansor, alasan PDAM menolak pesangon justru melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP Nomor 35 Tahun 2021, serta UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tak hanya itu, PDAM Tirta Karajae juga dinilai melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menerbitkan Peraturan Direktur Nomor 18/PER-PAM-TK/III/2025 yang muncul tepat menjelang masa pensiun Umar dan Syamsuddin — dengan substansi yang secara nyata merugikan mereka.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk ketidakadilan struktural. Ketika hukum dijadikan alat untuk kepentingan elit birokrasi, keadilan sosial terabaikan,” tambah Rusdianto.
Karena perundingan bipartit gagal, LBH GP Ansor Parepare resmi mendaftarkan penyelesaian Tripartit ke Dinas Tenaga Kerja Kota Parepare, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Selain itu, LBH Ansor juga membuka opsi gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap PDAM Tirta Karajae di Pengadilan Negeri Parepare, dengan dasar dugaan diskriminasi dan ketidaktaatan terhadap asas pemerintahan yang baik.
“Kasus ini bukan sekadar soal pesangon dua karyawan, tapi soal integritas pengelolaan BUMD dan moralitas birokrasi daerah. Kami akan pastikan kebijakan PDAM diaudit secara terbuka,” pungkas Rusdianto.






















Discussion about this post