OPINI
Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI merupakan salah satu tragedi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya menelan korban jiwa enam perwira tinggi militer, tetapi juga memicu gelombang kekerasan dan perpecahan yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsa, jejaknya bahkan masih terasa hingga kini.
Selama lebih dari enam dekade, narasi G30S/PKI didominasi oleh versi pemerintah Orde Baru yang ditanamkan melalui buku pelajaran, media massa, hingga film dokumenter. Generasi muda kala itu tumbuh dengan satu sudut pandang: bahwa PKI adalah musuh negara, tanpa ruang kritis untuk mempertanyakan atau melihat sisi lain dari peristiwa tersebut.
Namun, di era keterbukaan informasi saat ini, kesadaran mulai tumbuh bahwa sejarah yang kita terima mungkin tidak sepenuhnya utuh. Ada banyak versi narasi—baik dari pemerintah, sejarawan independen, maupun dokumen asing—yang menawarkan sudut pandang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah bukanlah fakta tunggal yang mutlak, melainkan mozaik yang membutuhkan keterbukaan dalam membaca.
Lantas, apakah generasi muda masih perlu mengingat peristiwa G30S/PKI yang terjadi jauh sebelum mereka lahir? Jawabannya: sangat perlu. Sebab sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin untuk menilai siapa kita hari ini dan ke mana kita akan melangkah. Mengingat G30S/PKI bukan berarti menghidupkan kembali kebencian, melainkan menjadikannya pelajaran agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.
Generasi muda harus membangun literasi sejarah yang baik dengan membaca berbagai sumber, membuka diri terhadap perbedaan sudut pandang, serta menjadikan sejarah sebagai bahan refleksi. Dengan begitu, kita dapat menjaga ingatan kolektif secara lebih sehat, kritis, dan mendalam.
Sebagai penutup, tragedi G30S/PKI sangat relevan untuk diingat generasi muda. Bukan hanya sebagai kisah kelam masa lalu, melainkan sebagai pelajaran berharga. Generasi muda harus berani bersikap kritis, tidak menelan mentah-mentah satu narasi, dan menjadikan sejarah sebagai pijakan dalam membangun masa depan bangsa.
Seperti yang dikatakan filsuf George Santayana: “Mereka yang lupa sejarah akan mengulanginya.”
Discussion about this post